Oleh: Muhammad Safri Muhlis
Siang itu, ketika mendengar kabar ada ekskavator dan tractor melakukan penggusuran jalan belakang kampung. Semua pun berbondong-bondong kesana, tak terkecuali anak-anak yang kala itu baru pulang sekolah. “Ayo kita lihat oto gusur” begitulah sebutannya bagi orang timur, ucap anak-anak sembari berlari menuju tempat penggusuran. Mereka seakan terlihat semangat menyaksikan alat berat yang sedang membongkar hutan itu. Ini karena terbilang pertama dan hal baru bagi mereka. Jika anak-anak bersemangat kesana hanya melihat alat itu, lain lagi dengan para bapak dan ibu-ibu yang juga pergi kesana. Mereka lebih melihat antusias pemerintah yang mengabuli keinginan mereka soal pembangunan jalan lingkar yang sudah mereka mimpikan sejak lama.
“Alhamdulillah, penggusuran jalan lingkar pulau Makian sudah dilakukan, akhirnya akses kita semakin mudah” ujar seorang bapak yang berdiri mengamati tractor mengedus tanah. Memang sebelumnya masyarakat di kecamatan Makian Barat jika hendak pergi melakukan pengurusan ke Kecamatan induk, mereka harus menggunakan perahu ketinting untuk bisa sampai ke sana karena jarak yang jauh juga tidak ada jalan darat yang menghubungkan satu desa ke desa yang lain untuk dilalui. Pernah satu waktu dulu ketika saya dan dua orang teman berkesempatan mengikuti lomba cerdas cermat tingkat sekolah dasar, yang di laksanakan oleh pemerintah kecamatan pulau Makian. Untuk sampai kesana, kami harus berbasah-basah menantang gelombang dengan perahu ketinting. Dengan dibuatnya jalan lingkar pulau Makian, merdeka sudah masyarakat di sini dari kesengsaraan, tidak lagi berbasah-basah, atau teriak histeris di laut lepas takalah perahu di terpa angin dan ombak-ombak. Ekskavator dan traktor itu terus bergerak, membuat pohon dan alang-alang seketika semua jadi terang, saking antusiasnya penggusuran itu, para warga disini merelakan pohon kelapa, kenari, palah, dan cengkeh yang masuk pada denah perencanaan pembangunan jalan di robohkan oleh ekskavator dan tractor itu.
“Ini penantian yang lama, jadi tidak mengapa, asalkan jalan bisa dibangun.” Ujar jainudin di kala itu. Ketika kenari, kelapa, cengkeh dan pala di robohkan, anak-anak berebutan untuk memetik buah kenari dan kelapa yang masih menggantung di ranting-rantingnya. Riak suara pun bersautan, “Wahhh kelapa mudah ehh, jangan ambil, ini punya saya” Mereka saling beradu memetik. Setelah beberapa hari melakukan penggusuran jalan belakang desa kami selesai. Penggusuran itu lalu berlanjut ke desa tetangga, kemudian berlanjut lagi dari desa ke desa. Setelah tujuh bulan lamanya, pekerjaan itu akhirnya dinyatakan selesai. Gurat bahagia pun terlihat di wajah para masyarakat, laksana seorang kesatria yang menang dalam perang dari pertempur yang sekian lama dia jalani. Mereka kini dapat menyaksikan jalan yang lebarnya kira-kira 10 meter itu. Sekali belum dilakukan pengaspalan, jalan darurat bisa membantu dan memudahkan mereka berpergian ke mana-mana.
Tapi tanah tetaplah tanah, dia bisa rusak dengan cepat ketika diguyur hujan lebat. Itulah yang terjadi dua tahun kemudian, jalan itu rusak parah, sebab rusaknya jalan karena setiap ada kali mati (Berangka mati) tidak dibuat jembatan penghubung, hanya ditimbun sehingga banjir dengan mudah mengerusnya. Alhasil, mereka kembali mengidap derita, kemerdekaan yang diimpikan hanyalah sepintas lalu. Banyak keluhan masyarakat pun merebek kemana-mana, laksana gaharu yang memuntahkan wanginya menyusuri hembusan angin. Keluhan itu disampaikan kepada pimpinan daerah juga para wakil yang ada di parlemen. Tapi tidak cepat, butuh empat tahun barulah keluhan itu diwujudkan. Jalan lingkar itu mulai di sertu, satu persatu jembatan sebagai penghubung pun dibangun. Walau begitu, ibarat gayung yang di gayung namun perahu tak kunjung menepih. Proyek itu kembali tersendak lama, tidak semua jembatan dibangun, sedang jalan yang di sertu kembali rusak, sulit bagi warga untuk melewatinya. “Jika kita melewati jalan di sana, bisa binasa badan kita.” Ujar teman saya dalam suatu pembicaraan. Pengakuan yang sama pun disampaikan hampir sebagian warga yang melintas. Mereka juga mengandai jika yang melintas itu seorang ibu hamil maka tidak menutup kemungkinan dia akan keguguran. Mimpi menikmati jalan mulus seperti kota-kota besar pun jadi seram. Jika di hitung proyek pembangunan jalan lingkar itu memakan waktu sudah lima belas tahun. Sampai kini proyek itu masih sementara terbengkalai, dan belum bisa dituntaskan, entah kapan nantinya baru bisa diteruskan. Jalan melingkar pulau Makian yang terbengkalai itu pun dijadikan isu sedap bagi para politisi untuk meraup suara di pulau ini saat unjuk pemilihan dalam gelaran pesta demokrasi. Para politisi selalu menebar janji manis ke telinga para warga. “Silahkan pilih saya, jika saya terpilih maka jalan lingkar akan saya bangun.” Begitulah bapak Taher meniru ucapan dari salah satu politisi dalam pidato kampanyenya. Hampir setiap momen pesta demokrasi, mereka para politisi selalu menggantung dan menebar janji. Tapi janji itu kemudian terbunuh jika mereka telah berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Masyarakat selalu jadi tumbal dan tumbal lagi dari ritual janji mereka. Terbengkalai masih tetap terbengkalai sampai sekarang. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di pulau Makian, ada beberapa daerah yang mengalami hal yang serupa. Mereka tidak punya jalan, hanya tanah yang jadi lintasan mereka. Mereka harus menyelami lautan lumpur untuk sampai ke kampung tujuan. Parahnya lagi, tidak ada jembatan penghubung sehingga mereka harus menggunakan rakit demi sampai ke seberang sungai. Di suatu malam yang dingin, ditemani gerimis tipis, saya dan beberapa teman dan bapak-bapak duduk sambil berbincang-bincang persoalan jalan tersebut. Berbagai gagasan dan protes di suarakan. Di akhir perbincangan kami, Samsul seorang mahasiswa Universitas Khairun Ternate bertanya kepada saya; “Kemerdekaan kita belumlah merdeka, merdeka untuk menikmati jalan yang sama dengan kota-kota besar lagi-lagi tertunda. Padahal kita punya wakil, tapi kita tidak pernah di wakilkan, lantas, wakil kita untuk siapa?”
Tapi tanah tetaplah tanah, dia bisa rusak dengan cepat ketika diguyur hujan lebat. Itulah yang terjadi dua tahun kemudian, jalan itu rusak parah, sebab rusaknya jalan karena setiap ada kali mati (Berangka mati) tidak dibuat jembatan penghubung, hanya ditimbun sehingga banjir dengan mudah mengerusnya. Alhasil, mereka kembali mengidap derita, kemerdekaan yang diimpikan hanyalah sepintas lalu. Banyak keluhan masyarakat pun merebek kemana-mana, laksana gaharu yang memuntahkan wanginya menyusuri hembusan angin. Keluhan itu disampaikan kepada pimpinan daerah juga para wakil yang ada di parlemen. Tapi tidak cepat, butuh empat tahun barulah keluhan itu diwujudkan. Jalan lingkar itu mulai di sertu, satu persatu jembatan sebagai penghubung pun dibangun. Walau begitu, ibarat gayung yang di gayung namun perahu tak kunjung menepih. Proyek itu kembali tersendak lama, tidak semua jembatan dibangun, sedang jalan yang di sertu kembali rusak, sulit bagi warga untuk melewatinya. “Jika kita melewati jalan di sana, bisa binasa badan kita.” Ujar teman saya dalam suatu pembicaraan. Pengakuan yang sama pun disampaikan hampir sebagian warga yang melintas. Mereka juga mengandai jika yang melintas itu seorang ibu hamil maka tidak menutup kemungkinan dia akan keguguran. Mimpi menikmati jalan mulus seperti kota-kota besar pun jadi seram. Jika di hitung proyek pembangunan jalan lingkar itu memakan waktu sudah lima belas tahun. Sampai kini proyek itu masih sementara terbengkalai, dan belum bisa dituntaskan, entah kapan nantinya baru bisa diteruskan. Jalan melingkar pulau Makian yang terbengkalai itu pun dijadikan isu sedap bagi para politisi untuk meraup suara di pulau ini saat unjuk pemilihan dalam gelaran pesta demokrasi. Para politisi selalu menebar janji manis ke telinga para warga. “Silahkan pilih saya, jika saya terpilih maka jalan lingkar akan saya bangun.” Begitulah bapak Taher meniru ucapan dari salah satu politisi dalam pidato kampanyenya. Hampir setiap momen pesta demokrasi, mereka para politisi selalu menggantung dan menebar janji. Tapi janji itu kemudian terbunuh jika mereka telah berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Masyarakat selalu jadi tumbal dan tumbal lagi dari ritual janji mereka. Terbengkalai masih tetap terbengkalai sampai sekarang. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di pulau Makian, ada beberapa daerah yang mengalami hal yang serupa. Mereka tidak punya jalan, hanya tanah yang jadi lintasan mereka. Mereka harus menyelami lautan lumpur untuk sampai ke kampung tujuan. Parahnya lagi, tidak ada jembatan penghubung sehingga mereka harus menggunakan rakit demi sampai ke seberang sungai. Di suatu malam yang dingin, ditemani gerimis tipis, saya dan beberapa teman dan bapak-bapak duduk sambil berbincang-bincang persoalan jalan tersebut. Berbagai gagasan dan protes di suarakan. Di akhir perbincangan kami, Samsul seorang mahasiswa Universitas Khairun Ternate bertanya kepada saya; “Kemerdekaan kita belumlah merdeka, merdeka untuk menikmati jalan yang sama dengan kota-kota besar lagi-lagi tertunda. Padahal kita punya wakil, tapi kita tidak pernah di wakilkan, lantas, wakil kita untuk siapa?”
0 Komentar