Oleh : Bidang Kaderisasi
Pengantar Pembahasan
Narasi NewNormal yang dilemparkan pihak
pemerintah ikut membawa dampak terhadap civitas
academica untuk bersiap diri kembali ke ruang-ruang kampus menjalani
kegiatannya seperti sebelum adanya pandemik covid-19. Mahasiswa dalam beberapa
waktu mendatang kemungkinan sudah tidak akan lagi melaksanakan StudyFromHome (Belajar dari rumah),
proses penyerapan ilmu di lingkungan kampus akan kembali seperti sebelumnya,
meskipun dalam beberapa hal tidak ada yang benar-benar akan kembali seperti
semula. Hal paling mendasar seperti menjaga jarak antar sesama, tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan sosial dengan jumlah orang yang banyak,
dibatasinya jam kerja menjadi beberapa contoh hal yang akan dijalani
kedepannya, demikian pula ini juga yang menjadi syarat-syarat untuk dunia
pendidikan jika akan menerapkan NewNormal.
Sebelum adanya narasi NewNormal, anjuran StudyFromHome menjadi hal yang memaksa civitas academica untuk menghadirkan formula baru dalam sistem
pembelajaran, sistem daring atau belajar secara online menjadi salah satu atau
bisa dikatakan juga satu-satunya alternatif yang tersedia. Meskipun dalam
proses evaluasi terdapat banyak kekurangan dalam metode daring, tapi memang ini
satu-satunya metode yang relevan untuk diterapkan, adapun opsi pembelajaran
lainnya adalah pemberian tugas dari pengajar tanpa ada identifikasi penyerapan
pelajaran dari mahasiswa. Jika dihadapkan pada pemilihan metode yang dirasa
terbaik, nampaknya metode daring yang akan menjadi pilihan utamanya
dibandingkan dengan metode pemberian tumpukan tugas dan juga metode belajar
langsung dalam ruangan seperti sebelumnya, yang selain melanggar aturan dari
pemerintah (pada waktu itu), hal ini pula beresiko untuk menambah penyebaran
virus covid-19.
Covid-19 yang dijuluki sebagai TheGameChanger
(pengubah permainan) turut memaksa juga pelaku Organisasi Mahasiswa untuk
berpikir keras dalam melaksanakan tugas-tugas organisasinya, khususnya
organisasi kaderisasi yang dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan
kehidupan sosial, baik itu antar sesama anggota atau dengan masyarakat secara
umum. Jika biasanya diskusi atau pelatihan-pelatihan dilaksanakan secara tatap
muka melalui sekretariat atau ruang temu lainnya, maka covid-19 memaksa
perubahan metode gerak yang ada, yang pada akhirnya semua beralih ke diskusi
atau pelatihan via daring.
PMII sebagai salah satu
organisasi mahasiswa berbasis kaderisasi mengenal
tiga bentuk pengkaderan yakni Pengkaderan Formal, Pengkaderan Informal dan
Pengkaderan Non Formal. Satu jenis pengkaderan menopang dan menentukan
pengkaderan yang lain. Namun di luar tiga jenis pengkaderan tersebut, satu
faktor lain yang juga sangat menentukan adalah kebiasaan sehari-hari kader dan
iklim keorganisasian PMII atau yang disebut lingkungan sehari-hari organisasi (Multi Level Strategy). Kaderisasi formal adalah
kaderisasi yang bersifat keberlanjutan atau berjenjang, Mapaba, PKD, PKL, PKN
adalah bagian dari kaderisasi formal. Kaderisasi non-formal adalah kaderisasi
yang bersifat pengembangan potensi dan pengetahuan anggota, contohnya follow-up
dan kelas-kelas pelatihan atau seminar. Sedangkan kaderisasi informal mengambil
peran dalam hal-hal yang sering tidak dirasai bahwa itu adalah proses
kaderisasi, contohnya memperagakan perilaku sopan dan mengedepankan adab dari
pengkader atau pengurus mengambil peran dalam indoktrinasi secara halus kepada
anggota. Meskipun mempunyai metode arah gerak yang terbilang saling melengkapi
satu sama lain, NewNormal yang sudah
di depan mata ini akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan dalam tubuh PMII
sendiri. Contohnya: akan sejauh manakah efektivitas pengkaderan formal (contoh:
mapaba) di tengah NewNormal?
Mengingat banyak dari masyarakat yang masih belum bisa menerima kondisi ini
dengan legawa (baca: legowo), tentu ini akan sangat berpengaruh terhadap
minatnya calon anggota untuk bergabung dengan keluarga pergerakan. Adapun
memang jika NewNormal masih akan
ditangguhkan di dalam dunia pendidikan, mungkinkah ada mapaba via daring?
Kaderisasi non-formal
& informal hadir untuk menopang kaderisasi formal, positifnya dari NewNormal terhadap kerja organisasi
ialah terbukanya kemungkinan untuk melakukan kaderisasi non-formal &
informal. Namun bagaimana jadinya jika ditangguhkan? Opsi apa yang akan coba
dihadirkan oleh pemegang tanggungjawab dalam tubuh PMII? Apakah akan tetap
berada pada opsi diskusi dan pelatihan via daring seperti sebelumnya? Lalu di
tengah KaderisasiFromHome pentingkah untuk tetap membangun komunikasi? Baik itu
antara sesama anggota, pengurus—pengurus, pengurus—anggota & alumni?
Ataukah melanggar janji suci (bai’at) dengan cara memilih berputus asa, menyerah, dan
meninggalkan PMII menjadi pilihan terakhirnya?
Adapun beberapa perbincangan Arah Gerak Organisasi
ialah terdiri dari pengantar dalam TOR dan pembahasan pada diskusi (Jumat,12
Juni 2020) sebagai berikut:
1.Pengkaderan Formal dan tantangan NewNormal (Pengantar)
Regenerasi atau proses
penggantian posisi melalui penumbuhan hal yang baru menjadikan penting adanya
kaderisasi formal. Dalam menyongsong kaderisasi formal, umumnya dalam skala
rayon atau komisariat sebelum calon rekrutmen hadir dalam perguruan tinggi, tim
sukses yang terdiri dari tim rekrutmen dan tim kepanitiaan sudah lebih dahulu
terbentuk, yang masing-masing memiliki perannya tersendiri. Tim rekrutmen
berfungsi sebagai media penjembatanan calon anggota hingga menjadi anggota
secara resmi, baik itu promosi organisasi melalui cara persuasif atau mengatur
rekayasa pra-mapaba meliputi pengenalan singkat soal PMII. Namun yang harus
digaris bawahi ialah peran ini diisi oleh anggota atau kader yang memiliki
kemampuan ideoligis yang mumpuni karena proses persuasif atau pengenalan PMII
harus sesuai dengan kaidah yang berlaku, dibutuhkan kehati-hatian dalam peran
ini karena peran ini yang menentukan jumlah berapa rekrutmen bisa dirangkul.
Selain itu ada juga tim
kepanitiaan yang tdk kalah penting dan berfungsi sebagai media terwujudnya
kaderisasi formal dalam bentuk nyata, dalam artian tim ini bekerja di saat
sebelum mapaba dan saat berlangsungnya mapaba.
Umumnya ini adalah
skenario yang sering digunakan waktu pra-mapaba hingga saat mapaba. Jika
diterapkan pada saat kondisi NewNormal
kemungkinan masih relevan meskipun ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
kembali, contohnya tim rekrutmen harus memutar otak bagaimana cara melakukan
rekrutmen disaat pembatasan kegiatan sosial yang meliputi tertutupnya akses
PK2MB, dibatasinya berkumpul dalam jumlah yang banyak, dan juga diberlakukan
batasan jam sosial. Kemungkinan rekrutmen melalui individu ke individu tanpa
melibatkan interaksi secara kolektif menjadi salah satu opsi yang ditawarkan
meskipun kemampuan individu kembali dipertanyakan ketika kemampuan kolektif
tidak bisa lagi jadi jalan keluar saat melakukan rekrutmen.
Lalu bagaimanakah dengan
tim kepanitiaan? Jelas akan turut memikirkan lagi langkah yang akan diambil
saat NewNormal, sebagai contoh proses
kerja-kerja kolektif yang biasanya melibatkan kolektif tim kepanitiaan harus
kembali dibicarakan, karena baik kerja dalam pendanaan atau dalam
keberlangsungan mapaba pasti akan ada kerja-kerja secara kolektif yang hal ini
bisa berbenturan dengan syarat dan aturan NewNormal.
Lalu bagaimanakah jika NewNormal dalam dunia pendidikan
ditangguhkan? Adakah kemungkinan diadakan Mapaba via daring? Jawaban singkatnya
ya, tidak mungkin tidak karena proses regenerasi harus tetap berjalan, meskipun
pada akhirnya keefektifan proses pemberian ideologisasi pertama yang patut
untuk diperbincangkan lebih jauh lagi.
Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mungkinkah segala ancaman
yang disebutkan bisa diubah menjadi sebuah kesempatan? Akankah segala kelemahan
yang ada bisa dibalikkan menjadi kekuatan?
Bincang arah Pengkaderan Formal dan tantangan NewNormal
Segala kemungkinan terbuka untuk pengkaderan formal yang dalam hal ini
MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) baik itu kaderisasi formal via daring
atau via tatap muka secara fisik seperti pada pengkaderan-pengkaderan
sebelumnya. Namun pola apapun yang akan dipilih nantinya memiliki poin lebih
dan kurangnya tersendiri menyesuaikan dengan kondisi. Jika pola pengkaderan
seperti umumnya yang akan dipilih maka ada tambahan skenario, sebagai contoh
jika ruang temu secara kolektif tetap dibatasi maka kemampuan tiap individu
akan diuji yang dalam artian kemampuan berkomunikasi secara tiap individu
dengan calon rekrutmen akan lebih masif lagi dan tidak menutup kemungkinan jika
ruang temu fisik sulit untuk tercipta maka ruang temu lewat digital menjadi
alternatifnya dengan tetap menjaga pola komunikasi rekrutmen sesuai dengan
tujuan organisasi. Adapun kemampuan komunikasi dengan orangtua calon rekrutmen
menjadi tambahan tantangan lainnya (tantangan ≠ ancaman) karena mayoritas dari
kita masih sulit untuk menganggap kondisi hari ini sudah baik-baik saja,
apalagi jika menyangkut dengan keselamatan keluarga. Tetap memperhatikan anjuran-anjuran
pencegahan covid-19 menjadi hal yang utama jika akan diadakan mapaba fisik,
baik untuk tim rekrutmen ataupun untuk tim kepanitiaan dalam hal kerja-kerja
secara kolektif.
Pengkaderan via daring pun demikian, diterapkannya NewNormal tetap membuka kemungkinan terjadinya pengkaderan via
daring dengan menimbang belum siapnya calon rekrutmen berada dalam ruang temu
secara fisik apalagi jika ditambah dengan belum siapnya orangtua calon
rekrutmen dalam memberi izin. Namun jika tetap ditangguhkan maka kemungkinan
ini yang menjadi alternatifnya, namun dengan beberapa poin kurangnya seperti
proses penanaman ideologisasi akan ada lubang sebagai contoh proses penerimaan
materi yang akan kurang efektif karena kendala jaringan atau kuota calon anggota,
hubungan emosional antara sesama calon anggota atau calon anggota dengan warga
pergerakan lainnya yang tidak terlalu erat dan nantinya harus ditutupi lewat
proses pengkaderan non-formal dan informal. Juga jika diadakan via daring ada
kemungkinan waktu pelaksanaanya akan dimundurkan karena proses seleksi dari tim
rekrutmen lewat daring harus lebih dimatangkan sebelum menuju ke pengkaderan
formal.
Adapun beberapa pokok rekomendasi dalam menyambut kaderisasi formal
diperlukan diterapkan pola-pola lainnya. Pada kondisi keterbatasan ruang temu
fisik seperti hari ini, pembangunan gerakan lewat media digital sangat
diperlukan. Menjaring calon rekrutmen lewat grup-grup alumni sekolah yang
selain bentuk pemberian tentang informasi kampus juga bisa menjadi pintu masuk
untuk melakukan pengkaderan secara tak kasatmata. Membangun citra lewat media
sosial juga diperlukan, pemanfaatan instagram atau facebook sebagai pembagian
informasi tentang kampus, mengekspresikan bakat, potensi, dan kreativitas
anggota organisasi lewat youtube dan blog penulisan menjadi beberapa
rekomendasinya. Namun yang perlu diingat dalam membangun citra lewat media
sosial diperlukan proses segmentasi, sebagai contoh pembagian informasi tentang
kampus harus dibungkus dengan informasi yang mudah dicerna oleh para calon
rekrutmen dan juga dalam pembangunan citra ini diperlukan kerja kolektif atau
kekompakan agar gerakan terbangun secara masif. Namun tidak boleh dilupakan
juga pola-pola terjun langsung di area kampus tetap diperlukan, sebagai contoh
untuk pembagian informasi mengenai kampus dan PMII melalui penempelan
pamflet-pamflet dan juga baliho yang bertujuan untuk menarik perhatian dan
membangun komunikasi terhadap calon anggota.
Dalam kondisi apapun sejatinya PMII harus tetap melaksanakan pengkaderan
formal, “PMII hadir bukan hanya untuk satu generasi tapi juga untuk beribu-ribu
generasi yang akan datang” (KTI—Kaderisasi Era Milenial,Satria Farhan) jika
dinarasikan hari ini dapat diubah dengan kalimat bahwa “PMII hadir bukan hanya
dalam satu kondisi tapi juga untuk hadir dalam segala kondisi”.
2.Pengkaderan Non-Formal & Informal (Pengantar)
Diskusi,Follow-up,dan
pelatihan-pelatihan menjadi beberapa agenda rutin non-formal dalam organisasi
kaderisasi yang bertujuan menambah pengetahuan dan mencari potensi diri
anggota-anggota. Sebelum pandemi melanda, aktualisasi agenda-agenda ini tidak
banyak mengalami hambatan selain daripada minat tiap individu apakah merasa
ingin menambah pengetahuan atau merasa ingin menggali potensi dalam diri, namun
di saat munculnya kebijakan tentang StudyFromHome,
kembali lagi formulasi apa yang paling bisa dilaksanakan untuk
keberlangsungan berpengetahuan kalau bukan dilaksanakan via daring. Metode
daring adalah hal yang paling mungkin untuk dilaksanakan hari ini selama dari
tiap individu merasa membutuhkannya dan juga selama para pemegang tanggungjawab
menyediakannya. Memang diskusi via daring ini kurang efektif karena beberapa
faktor di luar kendali diri sendiri contohnya seperti koneksi internet yang
buruk atau tidak memiliki akses ke internet, tapi bagaimana jadinya jika
kendala di luar diri sudah bisa di atasi, apakah masih ada lagi hal yang bisa
disalahkan selain diri sendiri?
Dalam beberapa hal
sebenarnya diskusi via daring ini bisa dianggap bukan sebagai penghalang tapi
sebagai kesempatan, bagaimana tidak? Kapan lagi kita bisa duduk berdiskusi
bertukar pendapat dengan tokoh-tokoh nasional atau para pemikir lainnya yang
sebelumnya hal itu terdengar mustahil dan kapan lagi kita bisa mengikuti
diskusi atau seminar lebih dari satu kali dalam sehari? Rasa-rasanya kemarin
ini terdengar hal yang mustahil.
Selain kaderisasi
non-formal yang bertumpu pada proses pertukaran pengetahuan melalui diskusi
atau pelatihan, maka lain dengan pengkaderan informal yang tidak selalu
mengadaikan hal-hal tersebut.
Jadikan setiap tempat
sebagai sekolah dan setiap orang sebagai guru (Ki Hajar Dewantara). Pesan dari
bapak pendidikan ini mengajarkan bahwa pengetahuan itu bisa datang dari tempat
mana saja dan bahkan dalam kondisi apa saja.
Kaderisasi informal pun
mengandaikan hal yang hampi persis, karena selama apa yang diucapkan atau
diperbuat dari seseorang selama itu baik maka harus diterima dan diusahakan
dipelajari meskipun orang itu lebih tua ataupun sebaliknya. Dalam kaderisasi
informal di tengah pandemi, pembangunan komunikasi antar sesame sangat
diperlukan, selain dari anggota ke pengurus sebagai bentuk pencarian
pengetahuan, dari pengurus ke anggota sebagai bentuk transfer pengetahuan dan
bentuk evaluasi perkembangan anggota, dan yang terakhir dari anggota atau
pengurus ke alumni sebagai bentuk pencarian pengetahuan dan bentuk mengevaluasi
secara mandiri perkembangan dari tubuh kepengurusan itu sendiri.
Maka dalam kondisi apapun, baik itu KaderisasiFromHome atau tidak,
membangun komunikasi sangat dianjurkan, dan juga baik nantinya tetap
KaderisasiFromHome atau tidak, bentuk pengkaderan non-formal harus tetap
diupayakan. Kedua hal dapat terwujud selama adanya proses timbal balik dari
semua anggota.
Bincang arah Pengkaderan Non-Formal &
Informal
Situasi yang tidak diduga
membuat silabus-silabus program kerja dalam pengkaderan non-formal kembali
diganti pola yang telah disusun sebelumnya. Selain perkembangan dan juga minat
berpengetahuan yang bisa terlihat pada pengkaderan non-formal, pada situasi
pandemi ini militansi warga pergerakan pun menjadi faktor lain yang harus
diperhatikan, yang jika penghalang di luar diri contohnya susah jaringan atau
minim kuota sudah teratasi maka baik minat dan militansi dalam berpengetahuan
atau berorganisasi di tengah pandemi patut dipertanyakan kembali. Selain faktor
minat dan militansi anggota yang harus tetap dijaga, ketersediaan wadah pun
harus tetap dijaga dan dipantau. Jika sebelumnya wadah yang ada itu terdepat di
ruang temu fisik maka hari ini wadah itu harus dialihkan ke digital yang siap
atau siap wadah berpengetahuan tetap harus tersedia, soal efektivitas wadah
yang disediakan baik itu follow-up atau pelatihan lainnya menjadi nomor
kesekian karena jika wadah tidak disediakan maka tertutup pula wadah untuk
mengukur minat dan perkembangan warga pergerakan atau efektivitas dari pengkaderan
non-formal tersebut yang nantinya hal yang masih terdapat lubangnya harus
diperbaiki atau diperbarui di pengkaderan non-formal kedepannya.
Dibukanya ruang
pengkaderan non-formal juga dapat menopang untuk menyambut pengkaderan formal
nanti, pengkaderan formal via daring atau fisik bisa menjadi tahap eksperimen
selanjutnya yang dalam artian jika pengkaderan via fisik dilakukan maka proses
penyerapan potensi dan pengetahuan di pengkaderan non-formal akan sangat
berpengaruh di sini dan jika pengkaderan formal via daring yang akan dipilih
maka proses perbaikan kekurangan dan pembaruan pola dapat diterapkan di
pengkaderan formal.
Yang harus digaris bawahi adalah sekalipun terdapat banyak kendala dalam
melaksanakan pengkaderan non-formal di tengah pandemi atau NewNormal, pengkaderan ini tetap harus berjalan dengan tujuan untuk
tetap menjaga wadah berpengetahuan juga untuk menjaga militansi dan hubungan
emosional para anggota. Pada bincang ini kami mendapat sebuah motto ‘ciptakan
wadah terlebih dahulu lalu diperbaiki terus menerus dengan tetap menjaga wadah
yang sudah diciptakan’ karena dengan tidak adanya wadah maka tidak akan ada
pula anggota yang bisa dijaga dan diperhatikan.
Membangun kembali
komunikasi melalui pendekatan emosional atau pengetahuan adalah dua hal yang berbeda
tapi pada situasi pandemi itulah salah satu cara dalam melakukan pengkaderan
informal. Pendekatan emosional dapat dipahami berupa kepedulian terhadap
situasi anggota atau bertukar kabar terkini anggota menjadi hal yang penting
untuk dilakukan karena dengan ini bisa dikatakan ada rasa kepedulian antara
sesama warga pergerakan, baik itu sesama anggota, anggota ke pengurus dan
alumni, juga pengurus ke anggota dan alumni.
Pendekatan pengetahuan
menjadi salah satu kunci dalam pengakderan informal jika ada warga pergerakan
yang mengalami kendala di luar diri hingga tidak memungkinkan mengikuti
pengkaderan non-formal tapi dicatat pula bahwa hal serupa juga harus dilakukan
untuk seluruh warga pergerakan.
Mempertegas Arah Organisasi
0 Komentar