Gerak Kader PMII Eksakta Basis Rumpun Ilmu Vokasi

Penulis : Pria Ubaydillah
(Ketua Umum PMII Politeknik Negeri Manado 2021-2022)




Berangkat dari ketidakpastiannya peletakan formula kaderisasi untuk kader maupun anggota dalam wilayah ilmu eksakta menjadi pemicu awal kenapa harus ada pembahasan terus-menerus tentang PMII di wilayah tersebut. Mengutip data Rakornas Bidang Kaderisasi tanggal 14-18 Februari 2012 bertempat di Jakarta, tentang ruang lingkup potensi kader dan mandat sosial yang di mana fakultas teknik berada pada jumlah 3% (1) . Entah data ini masih relevan untuk dijadikan acuan tapi sekilas data ini memberi jawaban pergerakan yang dilancarkan PMII pada wilayah fakultas eksakta. Jika dihadapkan pada pilihan berorganisasi maka akan memilih organisasi ekstra-kulikuler dengan alasan ingin menggembangkan minat dan bakat, dan kelompok-kelompok studi atau forum solidaritas juga himpunan-himpunan mahasiswa dengan alasan lebih memiliki timbal balik terhadap akademik dan dinilai lebih menjamin masa depan karena adanya relasi yang berhubungan dengan dunia kerja. Hal ini akan menjadi lebih menambah tantangan PMII di wilayah eksakta dan bersistem pendidikan vokasional. Bagaimanakah gerak PMII eksakta dalam sistem vokasi? Lalu tantangan apakah yang menanti kader-kader di masa mendatang nanti? Berikut pembahasannya.

PMII Dalam Wilayah Fakultas Eksakta Sistem Ilmu Vokasi

Sistem vokasi adalah sistem di pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan tertentu, sistem vokasi bertujuan menciptakan mahasiswa yang memiliki kemampuan tenaga ahli yang dipersiapkan untuk siap turun ke lapangan pekerjaan. Berbeda dengan sistem kampus lain seperti kampus akademik yang mengutamakan penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan lainnya(2). Berhubung sistem vokasi menerapkan 60 % praktek dan 40 % teori maka mata kuliah yang padat dan dituntut memiliki skill dalam waktu yang singkat dan tenaga yang terkuras banyak di mata kuliah praktek, menjadi alasan klasik dalam absennya berproses di PMII. Ditambah lagi manfaat mengikuti organisasi yang jauh dari latar belakang keilmuan yang menambah kurang minatnya bergabung di dalam organisasi. Ada jargon yang menarik di kampus sistem vokasi yaitu Kerja,Kerja,Kerja. Jika ada kritikan soal hilangnya idealisme mahasiswa pasca kuliah, maka dapat dipastikan mahasiswa lulusan sistem vokasi ada di bagian terdepan untuk menyimpannya di balik bantal—sekalipun tidak semuanya demikian.

Tidak berhenti sampai di situ, pada pendidikan vokasi mahasiswa diwajibkan lulus tepat waktu (4 tahun bagi D4, 3 tahun bagi D3). Bukan pesimis, tapi hal ini yang menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang jenjang kaderisasi formal bagi anggota PMII di kampus sistem vokasi. Terhitung PKD adalah jenjang kaderisasi formal terakhir, mengingat di tahun pertama kuliah masih dalam status anggota rayon, di tahun kedua atau ketiga barulah bisa mengikuti PKD dan setelah itu menjadi pengurus rayon atau komisariat, dan di tahun keempat sudah harus memfokuskan di akademik atau memilih sambil memfokuskan diri mengurusi organisasi dengan bayangan cuti akademik atau di Drop-Out. Alih-alih jika ada yang dapat mengikuti jenjang kaderisasi formal dalam lingkungan sistem vokasi, jika bukan karena kemampuannya yang memang mencukupi atau ada nepotisme dibaliknya—Naudzubillah.

Meskipun demikian, mengutip buku multi level strategi PMII, bahwa masih ada kaderisasi non-formal dan informal yang bisa dimanfaatkan. Selain follow-up materi mapaba yang sering dilakukan di kaderisasi non-formal, kaderisasi berdasarkan basic keilmuan perlu dilakukan, dimana sebagai contoh untuk teknik informatika diadakan kelas belajar pembuatan dan controling website atau database, juga  pelatihan fotografi, desain grafis dan cinematografi yang nantinya selain menimbulkan ketertarikan bagi calon anggota karena berhubungan dengan basic keilmuan, hal ini pun bisa membantu keberlangsungan PMII, sebagai contoh pembuatan website berfungsi untuk tempat para anggota PMII untuk mencurahkan gagasan-gagasan dan karyanya (contoh: website tulisan), untuk kelas fotografi, desain grafis, dan cinematografi berfungsi untuk memperkaya gagasan-gagasan dan karya anggota PMII dalam bentuk visual. Yang jika kita perhatikan lebih jauh lagi, hari ini gerakan-gerakan dan narasi yang seharusnya dikonter oleh PMII, bukan hanya lewat ruang debat atau diskusi di dalam forum-forum terbuka, tapi juga melalui forum-forum digital. Sebagai penguat, coba bandingkan dari segi pengikut dan visual antara akun media sosial PMII dan NU juga tokoh-tokoh NU dengan organisasi atau komunitas dan ustadz-ustadz kekinian lainnya, maka dalam hal ini PMII dan NU sungguh harus berbenah diri. Contoh lainnya ada di ilmu teknik sipil, arsitek dan teknik lingkungan, yang hari ini jika PMII memiliki anggota berlatar belakang ilmu tersebut dan juga ideologis terhadap PMII, maka kebijakan-kebijakan yang tidak pro akan rakyat dan mengancam lingkungan harusnya bisa dibendung. Sebagai penguat, latar belakang keilmuan di atas sangat kental dengan kegiatan pembangun maupun penghancuran, sebagai contoh jika akan dilaksanakan pembangun yang nantinya harus melalui proses penghancuran dan akan merugikan rakyat atau lingkungan, jika PMII memiliki anggota yang nantinya berada di wilayah-wilayah tersebut, harusnya mampu untuk tidak mengaminkannya dan mampu untuk memberikan jalan keluar atas pembagunan yang menghancurkan.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah cara mencetak kader ideologis? Ditengah tidak sinkronnya basic keilmuan dengan nilai ruh dalam PMII yang cenderung bersifat sosial humaniora. Dalam hal ini memang tidak ada modul khusus dalam melaksanakannya, seperti yang disebutkan di kata pengantar buku “PMII dalam bingkai eksakta”. Tapi mari kita mencoba berimprovisasi, Penanaman ideologi yang ada sebagai contoh untuk teknik informatika ditekankan penanaman soal Aswaja dan paradigma yang bertujuan sebagai bahan untuk bisa membedakan mana gerakan dan narasi yang bersifat Rahmatan lil alamin dan mana yang bersifat extrimis, dan melakukan konter narasi atau gerakan melalui digital. Sedangkan penanaman ideologi untuk teknik sipil atau lulusan yang akan bergerak di bidang teknisi maka narasi Eko-Pol dan NDP bisa dijadikan pedomannya, menjadikannya pisau analisis di dunia kerja, yang contohnya dalam hal ini para teknisi (buruh) perusahaan akan terus skeptis dengan perlakuan perusahaan terhadap para buruh dan jika kondisinya sebaliknya (anggota PMII yang menjadi pemodal) akan memperhatikan para buruh dengan sebaik-baiknya. Dan dalam contoh penerapan NDP, dalam kasus pembangunan yang menghancurkan, anggota PMII akan berhati-hati mengenai dampaknya terhadap rakyat dan lingkungan, karena jika tidak ini akan mencederai landasan yang ada di NDP, antara lain Hablum minna nas dan Hablum minal alam.

Dalam hal ini selain kaderisasi non-formal melalui follow-up yang teoritis, diperlukan pula kaderisasi non-formal yang memiliki makna tersembunyi seperti contoh yang disebutkan di atas, tapi jangan lupa bahwa ada kaderisasi informal yang bertujuan doktrinasi secara tidak langsung terhadap para anggota, karena di lingkungan teknik bukan hanya teori yang dibutuhkan, tapi dituntut pula untuk mampu mewujudkannya dalam bentuk yang nyata yang dalam hal ini dilakukan dengan menyisipkan makna dibaliknya. Dalam kaderisasi informal, para pengurus dituntut untuk siap terkuras tenaga (badan, pikiran), waktu, bahkan material karena mengingat situasi dan kondisi di fakultas teknik. Karena itu satu syarat penting untuk PMII di fakultas eksakta ialah harus Mobile atau yang dalam artian bisa melakukan banyak hal (KePMIIan,basic keilmuan).

Itulah mungkin yang disebut di buku kaderisasi tahun 2014 bahwa setiap kampus memiliki ciri khasnya tersendiri, yang menjadi pembahasan selanjutnya ialah bagaimanakah nasib PMII fakultas eksakta dalam mengamalkan nilai Ke-PMIIan di masa mendatang? yang dimana cara mengamalkannya sungguh berbeda dengan PMII yang berlatar belakang ilmu sosial humaniora. Berikut penulis akan mencoba menjabarkannya.

PMII Fakultas Eksakta dan Masa Depan

Melalui data Rakornas Bidang Kaderisasi tanggal 14-18 Februari 2012 bertempat di Jakarta, Ruang lingkup pemetaan pilihan sektor kader: sebanyak 26% ingin menjadi akademisi atau intelektual, 26% ingin menjadi entrepreneur atau industriawan, 18% ingin menjadi PNS atau berada di dalam lembaga negara, 15% ingin menjadi profesional, 9% ingin berkiprah sebagai aktivis lembaga sosial kemasyarakatan, dan 6% menjadi politisi(3). Dalam hal keterkaitan dengan anggota yang berlatar ilmu eksakta, mungkin kecondongan yang paling mendekati adalah entrepreneur atau industriawan, itu pun jika terwujud, kalo pun tidak langkah menjadi teknisi perusahaan atau pabrik menjadi jalan utama. Jika tidak, maka banting stir di sektor yang berbeda dengan latar belakang keilmuan, meskipun sebenarnya tidak ada masalah dengan hal itu. Sementara itu kondisi PMII dalam sektor negara ialah di kementerian yang dianggap strategis atau berimplikasi terhadap hajat hidup orang banyak seperti di kementerian keuangan, perdagangan, perindustrian, pertanian, dan ESDM, tidak terdapat satu pun kader PMII yang mencapai posisi eselon I(4)

Dalam hal pengembangan PMII dalam kampus memang organisasi extra-universitas (HMI,IMM,GMNI,PMKRI,GMKI,LMND,KAMMI) masih menjadi Contender (pesaing), tapi dalam pemerintahan selain organisasi-organisasi tadi, ada juga Challenger (penantang) yang sangat potensial dalam menduduki jabatan di pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun berbagai lembaga negara lainnya. Untuk memudahkannya, mereka dilabeli istilah ‘kaum profesional non-ideologi’. Ciri-cirinya adalah mereka yang kuliah S1 di luar negeri, terutama di negara-negara Barat, karena kemampuan finansial keluarga. Secara umum mereka berlatar anak pejabat maupun anak pengusaha yang ketika kembali ke Indonesia dapat dengan cepat menduduki berbagai jabatan di dalam negara maupun perusahaan karena memiliki sejumlah kualifikasi yang dibutuhkan. Kelompok inilah yang akan menjadi penantang utama kader-kader PMII di masa mendatang(5). Buktinya? Tengoklah fakta bahwa tujuh Stafsus Millenial Presiden hanya satu orang yang berlatar aktivis. Sisanya? tau sendiri. Atau lihatlah berapa banyak start up yang valuasi asetnya sudah ratusan miliar hingga ratusan triliun, adakah CEO-nya yang berlatar aktivis? Perlu ada di antara kita yang menjadi penguasa dan pengusaha yang baik. Sama halnya dengan keberadaan kader yang menjadi pembela di masyarakat(6). Akan lebih bertambah lagi ruang pertarungan, jika para penantang ini bisa mengawinkan basic keilmuannya dengan ilmu politik. Bisa kita lihat bagaimana narasi soal idealnya Airlangga Hartanto dipasangkan dengan presiden Joko Widodo pada pilpres 2019 kemarin, narasi bahwa Technopol (Technocrat-Politician) yang mampu menguasai proses pembuatan kebijakan dan memiliki kompentensi teknis yang professional, ditambah lagi beliau memiliki karir aktivis dan akademis yang baik (Aktivis cum Intelektual) merupakan gambaran pemimpin ideal di masa depan. Dalam konteks hari ini, narasi ini tidak mungkin tidak, digambarkan di kata pengantar buku “PMII dalam bingkai eksakta” tentang bagaimana seorang yang berlatar belakang Astrofisikawan (Stephen Hawking) namun memiliki pandangan Sosialisme, yang jika dikatakan hal tersebut sangat berjauhan dengan latar belakang keilmuannya. 

Dalam konteks PMII di rumpun ilmu teknik pun harusnya demikian, kita tetap memiliki anggota yang berlatar keilmuan teknik tapi tetap menjaga nilai-nilai KeIslaman (Aswaja) dan KeIndonesiaan. Sebagai penguat, belakangan ini bermunculan kader-kader PMII dengan non sosial humaniora dengan segudang prestasi dan karya, sebut saja ada kader yang dari Universitas Brawijaya yang aktif dengan prestasinya di bidang teknologi, ada lagi kader UNS dengan latar keilmuan fisika nuklir tapi tetap aktif dengan karya tulisnya. Itulah gambaran singkat kader-kader PMII yang berlatar belakang ilmu non sosial humaniora tapi tetap mampu mengimbangi situasi dan zaman.Sejatinya, basic keilmuan tidak menjadi penghalang dalam berproses di PMII, karena PMII bukan hanya milik dan untuk yang berlatar belakang sosial humaniora tapi juga milik dan untuk seluruh rumpun keilmuan. 

Sebagai penutup, kita akan sampai dipertanyaan, ditengah banyaknya pesaing dan penantang PMII di masa depan, akankah PMII menjadi bagian dari The Golden Age Of Republic?

Daftar Referensi

(1,3,4,5,6) Buku Kaderisasi 2014 hal 22,23,42,46.

(2) KTI PKD “Kaderisasi di era milenial (Sistem Vokasi)” hal 3, Satria Farhan.

(6) Refleksi 60 tahun PMII Harapan dan Tantangan, hal vii-viii, Dwi Winarno.

KTI PKD “Kaderisasi di Era Digital”, Ayudina.

Multi Level Strategi PMII

PMII dalam Bingkai Eksakta

Jokowi ke Harari, Rizal Malaranggeng 









Reactions

Posting Komentar

1 Komentar