( Oleh: Bidang Agitasi & Propaganda)
Trailer
Menjadi
seorang pemimpin di masa krisis seperti saat ini diperlukan karakteristik
progresif. Sebab, permasalahan yang terjadi di masa pandemi saat ini
membutuhkan respon cepat dan tepat berdasarkan prioritas dalam batasan
efektivitas kerja. Pandemi covid-19 adalah ujian bagi semua orang terkhususnya
untuk seorang pemimpin. Kemampuan menghadapi krisis bisa diartikan sebagai
kemampuan seorang pemimpin dalam merespon kondisi lingkungan yang dinamis
dengan melibatkan seluruh unsur dalam organisasinya untuk beradaptasi dan juga
berkolaborasi guna menghadapi krisis yang terjadi.
Covid-19, realitasnya telah memorak-porandakan kehidupan masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia. Segala aspek kehidupan, mulai sektor pendidikan, pariwisata, politik, sosial, budaya hingga ekonomi dan bahkan demokrasi harus beradaptasi dengan konsep kebiasaan dan tatanan baru (new normal). Kejutannya, di Negara Republik China tepatnya Kota Wuhan (tempat awalnya virus) serta negara lainnya mampu mengatasi pandemi ini dengan konsisten dari kebijakan tiap negara masing-masing, tapi berbeda dengan negara yang sekarang kita semua pijaki.
Komedi (Kontroversi Melanda Negeri)
2020 menjadi awal krisis yang melanda bumi pertiwi, berbagai tindakan maupun muslihat terkait kegiatan masyarakat telah dikeluarkan oleh sang pemimpin diawali dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), new normal, PSBB transisi, AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), PPKM mikro, PPKM darurat, PPKM level 1-4, dan berbagai macam istilah-istilah lainnya. Dan tentunya semua kebijakan dari kroni Pemimpin ini tidak sesuai UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sangat disayangkan pemerintah memanfaatkan UU tersebut hanya untuk memberikan sanksi kepada warga yang melanggar aturan pembatasan di masa yang sulit ini. Bahkan, kebijakan ini tidak membuat kasus Covid-19 di negeri ini turun atau kata lain tidak terjamin.
Kontroversi saat ini ialah PPKM menjadi kebijakan yang sarat banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, sama seperti kebijakan-kebijakan ngawur sebelumnya. Pemimpin mengatakan, “PPKM darurat akan membatasi aktivitas masyarakat secara lebih ketat dari aturan-aturan sebelumnya”. Punishment ketika melanggar kebijakan tersebut bermacam-macam, mulai dari denda hingga pidana dan bonusnya ada tindakan represif dari aparat yang berpatroli mengamankan usaha-usaha yang menurut mereka “nakal”. Tidak masalah kebijakan ini diterapkan untuk mereka yang rutin dapat gaji per bulan, tapi bagaimana nasib para pelaku usaha yang hanya mengandalkan pemasukan hasil usaha mereka sebagai biaya hidup karena kebijakan ini?
Sisi
kemanusiaan dari kebijakan di negara ini seakan kritis disaat masa pandemi ini.
PMS (Perlawanan Mati Suri)
Berjalannya waktu dikebijakan ini, banyak kalangan masyarakat mulai membentuk sebuah “Perlawanan” seperti salah satu contoh Rakyat Bantu Rakyat yang dimana aksi rakyat di jalan membagikan makanan untuk pengguna jalan raya setempat khususnya di daerah ibu kota serta berbagai daerah lainnya. Tapi lagi dan lagi hal itu membuat aparat bertindak membubarkan aksi itu, sekali lagi ini memberitahu kita semua bahwa dengan segala upaya perlawanan halus ini mulai membuat pemimpin beserta kroninya di negara ini ketakutan kita sebagai rakyat bersolidaritas dibalik gagalnya pemerintah mengatasi pandemi ini.
Fungsi mahasiswa sebagai agent of change dan social control sekarang ini seakan sementara tak berdaya untuk turun ke jalan karena kebijakan ini. Memang kalau fakta berbicara, membandingkan gerakan mahasiswa zaman sekarang dengan mahasiswa tahun 1966 dan 1998 tidak se-membara dulu. Untuk saat ini sebuah perlawanan hanya sekedar mengkritik lewat berbagai macam sosial media, tapi itu tak menyulutkan untuk Buzzer (akun sosmed pro pemerintah bayaran) menyerang balik kritikan tersebut, bahkan bisa saja sebuah kritikan yang dilontarkan kena ancaman pidana lewat UU ITE. Seakan-akan demokrasi hari ini memang sudah “mati” jika kita flashback kembali saat #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu serta beberapa UU kontroversi yang dikeluarkan pemerintah seolah memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan para elit lokal sampai saat ini.
Stimulus
Tapi berkaca pada 1998, aksi mahasiswa sempat mati suri karena kebijakan NKK/BKK yang diterapkan pada tahun 1978 dimana salah satu isinya adalah “Pelarangan aksi di dalam dan di luar kampus” apalagi tindakan represifitas dari ABRI yang membuat gerakan aksi mahasiswa berpuasa selama 20 tahun sebelum akhirnya mereka sudah melebihi batas kesabaran karena kepemimpinan era Soeharto yang otoriter kala itu. Bukan hal yang mustahil apabila kebijakan di masa pandemi yang sulit ini tidak menyulutkan akan ada tanda-tanda aksi lagi untuk kedepan, karena tiap manusia ada batas kesabarannya dan setelah itu bergeraklah secara serentak. Bukankah begitu?
0 Komentar