Review Movie: The Women Wearing A Turban “A Women And Story Behind It”

 Oleh: Amanda Simbala


Illustration by @nafissbr

Halo sahabat-sahabati salam pergerakan! Untuk kita semua yang masih yakin dan percaya bahwa membaca merupakan investasi masa depan, semoga kalian semua diberikan kesehatan dan umur panjang untuk tetap berproses dalam sebuah bingkai pergerakan, azekkk. Nah, kali ini penulis kembali dengan sebuah artikel yang berangkat dari diskusi sekaligus bedah film keperempuanan. Film seperti apasih yang ditonton? Buat kalian yang penasaran dan belum tau judulnya film “Perempuan Berkalung Sorban” garapan sutradara terkenal Hanung Bramantyo, berkisah tentang perempuan bernama Anissa yang menjadi anak sekaligus ibu dari seorang pemilik sebuah pesantren, yang bisa dibilang dibesarkan juga dalam lingkungan dan tradisi islam yang konservatif pada waktu itu. Film yang berhasil diadaptasi dari sebuah novel karya Abidah El Khalieqy dengan judul yang sama ini dirilis tahun 2009 dan berlatarbelakang sekitar tahun 1970an, lah emah masih relate untuk kita yang hari ini hidup di zaman yang udah ‘gaul’ gituh? Ya masih lah masa enggak, gak percaya? Nih penulis kasih gambarannya, zaman dulu dalam dunia pendidikan dan cara mendidik banyak pola didikan yang bias alhasil perempuan diandaikan kiprahnya hanya sebatas dalam rumah dan atau di bawah laki-laki, masih ada sampe sekarang walaupun zaman sekarang pemimpin dalam kelas sudah bisa dari perempuan tapi pola didikan yang tidak mendiskriminasikan gender tidak semua merata, seringkali contoh yang dipakai dalam sebuah mata pelajaran di sekolah masih menggambarkan tumpang tindih peran dan fungsi antar perempuan dan laki-laki. Kalo di tahun 70an zaman Siti Nurbaya masih sering dirasakan, jangan sangka sekarang pun masih ada, kekerasan apa lagi, dari tahun ke tahun. Dari dulu sampai dengan sekarang kita tahu bersama bahwa sering menjadi masalah ketika suatu budaya pun hukum di negara masih banyak yang tidak ramah kepada perempuan. Di Indonesia sendiri perempuan merupakan mayoritas tetapi dikesampingkan, sering dianggap sebagai minoritas karena kebanyakan hanya fokus pada kondisi umum dengan mengabaikan kebutuhan khas kelompok sosial tertentu karena dari itu dalam relasi gender yang dijadikan standar keadilan publik adalah laki-laki. Dalam merumuskan keadilan, kebijakan negara, budaya dan kemaslahatan agama seringnya laki-laki menjadi standar bagi perempuan. Padahal perempuan mempunyai pengalaman yang tidak dimiliki laki-laki dan seharusnya perlu untuk lebih memikirkan kemaslahatan dari pihak perempuan sendiri. Pengalaman yang dimiliki perempuan menjadikan apa yang hari ini dianggap adil, bijak dan mashlahat bagi laki-laki belum tentu sama bagi perempuan.

Adapun beberapa perbincangan Diskusi Internal Keperempuanan yaitu Nobar & Bedah Film Perempuan Berkalung Sorban yang akan dibahas ialah:

-Perempuan dan Pengalamannya

Perempuan punya pengalaman yang tidak ada pada laki-laki, karena secara biologis perempuan mengalami 5 hal yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui yang semuanya dilalui dengan rasa sakit. Perempuan juga mengalami 5 hal secara sosial yaitu marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, violence dan beban ganda, mereka rentan mengalami ketidakadilan berbasis gender hanya karena dia seorang perempuan. Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” banyak sekali ketidakdilan berbasis gender yang dibungkus dengan dalih budaya serta tafsir agama serta adanya ketimpangan power di dalam sebuah sistem sosial yang patriarkis.

Ketimpangan power berdasarkan gender ini melahirkan sikap-sikap yang diskriminatif terhadap perempuan. Sikap diskriminasi ini menimbulkan anggapan bahwa perempuan inferior dari laki-laki, hanya sebagai objek, pelengkap atau pelayan dari laki-laki, hingga menjadi legitimasi dari berbagai tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Film ini menunjukkan adanya kesadaran tokoh perempuan akan kesetaraan gender. Dari challenge yang telah diberikan yaitu tentang mencari diskriminasi yang ada menjadi pertanyaan pula mengapa diskriminasi sering dikategorikan padahal sebenarnya tidak terlalu diperlukan pengkategorian seperti yang ada pada pengalaman sosial diatas, hanya agar seseorang dapat terbantu untuk mengindentifikasi suatu isu maupun kasus, sekaligus membuat bingung ketika ada contoh mengenai satu kasus maupun isu ada kemungkinan untuk bisa termasuk dalam dua hingga tiga kategori untuk contoh yang sama dan jika dilihat lagi yang ada pada pengkategorian diskriminasi semuanya adalah sama, sama-sama termasuk dalam ketidakadilan berbasis gender.

 -Menyikapi Pengalaman Perempuan

Dari berbagai pengalaman perempuan, pola pendidikan yang ada hingga masuk ke diskriminasi yang telah dikembangkan lewat diskusi juga bedah film setelahnya patut dirasa untuk memahami bagaimana kita semua menyikapi pengalaman perempuan yang ada untuk mempertimbangkan adanya budaya, kebijakan serta tafsir agama yang juga perempuan masuk didalamnya. Mengambil contoh ketika perempuan menstruasi dan atau hamil dengan cara memfasilitasinya serta ikut merealisasikan cuti menstruasi untuk beberapa hari dan cuti hamil selama kurang lebih tiga bulan dari perempuan hamil hingga melahirkan untuk sekaligus menunjang masa nifas dan menyusui bagi perempuan. Serta bagaimana kita menyikapi diskriminasi yang ada pada perempuan misalnya  dengan tidak menambah beban pada perempuan ketika dia bekerja pun mengurusi anak dan mengurusi apa saja yang ada dalam rumah yang tidak terus-terusan berpaku pada perempuan, tidak menjadikan kekerasan kepada perempuan sebagai satu-satunya cara dan lain sebagainya yang ketika tidak terealisasikan semuanya paling tidak untuk tidak menambah pengalaman biologis pun pengalaman sosial pada perempuan karena semuanya dilalui dengan rasa sakit juga dampak psikis yang perlu untuk diperhatikan melihat situasi dan kondisi perempuan yang telah dijelaskan di atas.

 -Film Sebagai Representasi Atas Perempuan

Pengetahuan sangat penting dalam sistem kehidupan manusia, dengan pengetahuan seseorang bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas. Karenanya kaderisasi formal baik non formal dijalankan, pertanyaannya bagaimanakah perempuan memperoleh pengetahuan? Dari sebuah penelitian yang dilakukan Mary Belenky, Blythe Clinchy, Nancy Gold Begger dan Jill Tarule dari Ferris State University membuat dalam buku teorinya “Womens Ways of knowing”, yang di mana menurut mereka, cara perempuan mengetahui terbagi menjadi lima tahap, yaitu pertama diam, kedua pengetahuan terterima, ketiga pengetahuan subjektif, ke empat pengetahuan prosedural, dan yang ke lima pengetahuan kukuh. Karena sudah terkonstruk dari lama makannya makin kemari tahapan perempuan dalam mengetahui sangat dinamis dan tentu saja berbeda dari laki-laki. Namun, tidak menutup kemungkinan ada juga perempuan-perempuan yang langsung ke tahapan kedua tanpa melalui tahapan pertama dikarenakan faktor internal dan eksternal dari tiap perempuan itu sendiri. Dengan adanya film, salah satu alternatif yang dikira sampai hari ini masih mampu merepresentasikan perempuan untuk sadar dalam hal pendidikan dan pengatahuan terhadap dirinya sendiri.

Mungkin dalam hal ini, penulis adalah salah satu orang yang berterimakasih kepada Abidah El Khalieqy yang telah menulis buku  ini sehingga sangat menarik untuk dibaca, saking menariknya hingga di angkat ke layar lebar, Hanung Bramantyo yang dengan berani menampilkan film ini di layar indonesia atas kenyataan bahwa inilah gambaran kultur sosial dan budaya yang mencekik perempuan pernah terjadi di indonesia.

Adapun wadah bagi perempuan di negara ini seperti Komnas Perempuan yang terlibat dalam pemberdayaan perempuan serta Lembaga Bantuan Hukum yang membantu menangani semua kasus. Apakah dengan adanya wadah seperti ini dengan serta merta membenarkan bahwa pada dasarnya perempuan memang lemah? Kenapa hanya perempuan yang punya wadah tersendiri dan kenapa laki-laki tidak jika ingin setara, padahal laki-laki juga ada yang menjadi korban, punya beban dan lain sebagainya..? Pertanyaan seperti ini dari tahun ke tahun sering muncul, bertanya karena butuh kejelasan atas kebingunan, dan atau lebih sering di lontarkan dari orang-orang yang hanya sekedar menguji pemahaman suatu kaum yang merasa masih berada di bawahnya. Pertama, adanya wadah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan, ada beberapa produk hukum, kebijakan atau bisa dikatan sistem sosial di Indonesia yang tidak melibatkan suara perempuan yang pada nyatanya produk-produk tersebut juga berdampak pada perempuan, jadi tidak serta merta bisa dikatakan pada dasarnya perempuan itu lemah tapi ada faktor di mana suara dan keadaan perempuan tidak diperhitungkan sekaligus konstruk yang dibangun pada perempuan, yang kedua bukan berarti dalam hal ini laki-laki dikesampingkan pun bukan berarti laki-laki tidak punya pengalamannya, akan tetapi pengalamannya jarang di permasalahkan hanya karena dia seorang laki-laki. Ketiga, kata ‘setara’ diartikan harus ‘sama’, kata ini sering menjadi bias padahal setara dan sama adalah dua hal yang berbeda dimana sama belum tentu adil bagi pihak lain dan setara menjaminkan sesuatu yang adil dan sesuai. Lalu wadah apa yang disediakan untuk laki-laki? Lembaga Bantuan Hukum dan komnas HAM bisa menaungi hal tersebut, ditambah dengan hari ini banyak komunitas dan akun media sosial mengangkat isu maupun kasus yang real dan terpercaya tanpa melihat gender.

Daftar referensi

-    Skripsi “Representasi Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung  Sorban” Diana Damayati

-    Buku Nalar Kritis Muslimah (Dr.Nur Rofiah, Bil.Uzm.)

-    Mary Belenky, Blythe Clinchy, Nancy Gold Begger dan Jill Tarule – “Women’s Ways of Knowing”

Reactions

Posting Komentar

1 Komentar