Dimulai pada awal tahun 2020, kejutan demi kejutan yang meresahkan telah terjadi di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Pandemi, bencana, kecelakaan transportasi, aturan-aturan yang mencekik, hingga pelanggaran hukum yang telah dan sedang terjadi di negeri ini, yang menjadi pertanyaan, sebenarnya ada apa dengan negeri ini? Apakah ini merupakan tanda negeri yang merdeka pada tahun 1945 ini akan berantakan? Semoga kita semua selalu dilindungi dan dijauhkan dari kejutan-kejutan yang meresahkan tersebut.
Aaaaamiiiinnn….
Berbagai pulau, baik pulau besar maupun kecil serta wilayah perairan Sulawesi Utara memiliki berbagai macam potensi, salah satunya adalah potensi pertambangan emas yang kabarnya akan dibangun di Pulau Sangihe, hal ini menimbulkan polemik tersendiri di Indonesia maupun Sulawesi Utara khususnya di Pulau Sangihe. Sebenarnya letak polemik atau masalahnya dimana? Bukannya justru bagus tambang emas tersebut dapat menjadi alat penghasil uang, mungkin ini yang dipikirkan orang-orang yang hanya diam dan tidak peduli dengan apa yang menimpa di negeri tercinta ini.
Polemik yang terjadi adalah dampak dari pembangunan tambang yang mengancam spesies burung endemik dan lingkungan masyarakat Sangihe, terdapat pelanggaran undang-undang dan konspirasi atas meninggalnya Helmud Hontong selaku Wakil Bupati Sangihe yang sempat memberikan surat penolakan pembangunan tambang emas.
Keluarnya izin mengeksploitasi Pulau Sangihe yang diberikan Kementrian ESDM pada PT. TMS (Tambang Mas Sangihe) pada Januari 2021 hingga 2054 sebesar 42.000 hektar atau 420 Km2, sedangkan luas Pulau Sangihe adalah 736 Km2 sehingga area wilayah pertambangan ini merupakan setengah dari Pulau Sangihe. Tentu terjadi penolakan dari berbagai warga karena wilayah tersebut mencakup 7 kecamatan dan habitat berbagai spesies hewan yang ada di Pulau Sangihe, apalagi metode eksplotasi yang akan di lakukan PT TMS adalah open pit yaitu dengan melakukan pengeboman terhadap wilayah Pulau Sangihe otomatis wilayah pemukiman dan habitat hewan-hewan di sana akan rusak apalagi Gunung Sahendaruma yang menjadi tempat ditemukan kembali spesies burung endemik yang puluhan tahun lalu dinyatakan punah, masyarakat Sangihe menyebutnya burung Seriwang Sangihe (manu’niu).
Bagaimana? Sangat meresahkan bukan?
Lagi-lagi terdapat pelanggaran undang-undang, rasanya pemerintah Indonesia tanpa pelanggaran itu sama seperti kata Rhoma Irama “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”. Pembangunan yang di lakukan PT. TMS ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang di mana limit luas wilayah yang di izinkan untuk dikelola adalah 2000 Km2 sedang Sangihe memiliki luas wilayah 736 Km2 bahkan kurang dari setengah limit yang diizinkan sesuai hukum. Dengan ini hukum yang ada di Indonesia semakin hari semakin tajam kebawah tumpul keatas.
Kemudian terdapat tanda tanya besar terkait meninggalnya Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong di dalam pesawat rute Denpasar-Makassar yang di mana sebelumnya telah mengeluarkan surat penolakan izin pembangunan tambang emas di Pulau Sangihe. Muncul spekulasi bahwa beliau meninggal dengan kondisi darah yang keluar dari mulut dan hidung kemudian karena racun dan sebagainya namun penyebab kematian beliau diduga komplikasi penyakit yang diderita. Berdasarkan spekulasi yang beredar, kisah beliau mengingatkan saya kepada kasus yang menimpa Munir. Munir adalah aktivis HAM yang meninggal dalam pesawat yang membawanya dari Jakarta ke Amsterdam, belanda, pada September 2004, ada juga yang menyebut bahwa Helmut Hontong ini sebagai “Munir Jilid II”. Sangat disayangkan juga orang-orang yang sudah melihat kejadian ini hanya berdiam diri seakan tak peduli apa yang terjadi di tengah kontroversi di “Negara Merdeka” ini. Simpelnya, Negara ini sedang tidak baik-baik saja dan sangat disayangkan ketika melihat orang-orang yang terlalu cepat dalam mengomentari bahkan dalam konteks negatif atau su’uzon (berprasangka buruk). Lantas, bagaimanakah tindak lanjut dari kita semua untuk sekarang ini? Apakah kita hanya akan diam atau bangkit melawan?
Berbagai pulau, baik pulau besar maupun kecil serta wilayah perairan Sulawesi Utara memiliki berbagai macam potensi, salah satunya adalah potensi pertambangan emas yang kabarnya akan dibangun di Pulau Sangihe, hal ini menimbulkan polemik tersendiri di Indonesia maupun Sulawesi Utara khususnya di Pulau Sangihe. Sebenarnya letak polemik atau masalahnya dimana? Bukannya justru bagus tambang emas tersebut dapat menjadi alat penghasil uang, mungkin ini yang dipikirkan orang-orang yang hanya diam dan tidak peduli dengan apa yang menimpa di negeri tercinta ini.
Polemik yang terjadi adalah dampak dari pembangunan tambang yang mengancam spesies burung endemik dan lingkungan masyarakat Sangihe, terdapat pelanggaran undang-undang dan konspirasi atas meninggalnya Helmud Hontong selaku Wakil Bupati Sangihe yang sempat memberikan surat penolakan pembangunan tambang emas.
Keluarnya izin mengeksploitasi Pulau Sangihe yang diberikan Kementrian ESDM pada PT. TMS (Tambang Mas Sangihe) pada Januari 2021 hingga 2054 sebesar 42.000 hektar atau 420 Km2, sedangkan luas Pulau Sangihe adalah 736 Km2 sehingga area wilayah pertambangan ini merupakan setengah dari Pulau Sangihe. Tentu terjadi penolakan dari berbagai warga karena wilayah tersebut mencakup 7 kecamatan dan habitat berbagai spesies hewan yang ada di Pulau Sangihe, apalagi metode eksplotasi yang akan di lakukan PT TMS adalah open pit yaitu dengan melakukan pengeboman terhadap wilayah Pulau Sangihe otomatis wilayah pemukiman dan habitat hewan-hewan di sana akan rusak apalagi Gunung Sahendaruma yang menjadi tempat ditemukan kembali spesies burung endemik yang puluhan tahun lalu dinyatakan punah, masyarakat Sangihe menyebutnya burung Seriwang Sangihe (manu’niu).
Bagaimana? Sangat meresahkan bukan?
Lagi-lagi terdapat pelanggaran undang-undang, rasanya pemerintah Indonesia tanpa pelanggaran itu sama seperti kata Rhoma Irama “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”. Pembangunan yang di lakukan PT. TMS ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang di mana limit luas wilayah yang di izinkan untuk dikelola adalah 2000 Km2 sedang Sangihe memiliki luas wilayah 736 Km2 bahkan kurang dari setengah limit yang diizinkan sesuai hukum. Dengan ini hukum yang ada di Indonesia semakin hari semakin tajam kebawah tumpul keatas.
Kemudian terdapat tanda tanya besar terkait meninggalnya Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong di dalam pesawat rute Denpasar-Makassar yang di mana sebelumnya telah mengeluarkan surat penolakan izin pembangunan tambang emas di Pulau Sangihe. Muncul spekulasi bahwa beliau meninggal dengan kondisi darah yang keluar dari mulut dan hidung kemudian karena racun dan sebagainya namun penyebab kematian beliau diduga komplikasi penyakit yang diderita. Berdasarkan spekulasi yang beredar, kisah beliau mengingatkan saya kepada kasus yang menimpa Munir. Munir adalah aktivis HAM yang meninggal dalam pesawat yang membawanya dari Jakarta ke Amsterdam, belanda, pada September 2004, ada juga yang menyebut bahwa Helmut Hontong ini sebagai “Munir Jilid II”. Sangat disayangkan juga orang-orang yang sudah melihat kejadian ini hanya berdiam diri seakan tak peduli apa yang terjadi di tengah kontroversi di “Negara Merdeka” ini. Simpelnya, Negara ini sedang tidak baik-baik saja dan sangat disayangkan ketika melihat orang-orang yang terlalu cepat dalam mengomentari bahkan dalam konteks negatif atau su’uzon (berprasangka buruk). Lantas, bagaimanakah tindak lanjut dari kita semua untuk sekarang ini? Apakah kita hanya akan diam atau bangkit melawan?
0 Komentar