Oleh: Amanda Simbala
Dimulai dengan revolusi industri 1.0
ditemukannya mesin uap sehingga revolusi ini mengubah masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri, yang juga turut serta mempengaruhi standar
kecantikan pada masa berjalannya revolusi industri pertama yang disebut Beauty
1.0, konsep kecantikan yang ada saat itu masih terfokus pada satu dimensi
yaitu, para dokter menggunakan apa yang disebut golden ratio. Pada awal abad
ke-20 terjadilah revolusi industri 2.0 dimana tenaga uap mulai digantikan
dengan tenaga listrik, begitupun pada beauty 2.0 yang sedikit bergeser pada
penampilan wajah yang lebih sempurna lagi tetapi tetap mempertahankan
originalitasnya. Di revolusi industri 3.0 ini mengubah masyarakat dari ekonomi
industri menjadi ekonomi informasi karena berbagai mesin yang bisa berpikir
secara otomatis mulai diciptakan, yang juga berakibat pada Beauty 3.0 disini
tuntutan masyarakat berkembang dengan adanya perawatan kecantikan untuk
menunjang kepercayaan diri. Pada Revolusi 4.0 sering disebut dengan “Internet of things” disinilah internet
mulai berkembang dan dapat diakses oleh siapa saja, disilah lahirnya social beauty yang dinamakan Beauty 4.0,
ditandai dengan kemunculan media sosial sebagai sarana eksistensi dan
aktualisasi diri.
Standarisasi kecantikan
Pada era paleolitik yaitu 24.000 hingga 22.000 SM, konsep cantik di latar belakangi oleh kesuburan seorang perempuan. Gadis yang cantik di definisikan memiliki tubuh yang berisi, payudara besar, pinggul besar, perut gemuk, karena konsep pemikiran pada zaman itu adalah tubuh yang sehat adalah yang mampu melahirkan banyak anak. Tubuh besar yang sehat adalah yang terpenting untuk mempertahankan keturunan. Perempuan dengan mata cantik, bibir berlipstik merah cerah, tidak menjadi prioritas.
Era zaman penjajahan, definisi cantik
mulai mengikuti standar dari para masyarakat penjajah, ditambah dengan adanya
perdagangan antar negara dari negara ke wilayah Indonesia hingga mulai adanya selebaran
iklan, hal tersebutlah yang mendukung konstruk. Pada zaman dulu perempuan
Indonesia menganggap jika memiliki standar yang ada dari masyarakat penjajah,
mereka akan lebih mudah diperlakukan dengan baik dan lembut, memiliki uang yang
banyak dan bisa saja menikah dengan masyarakat penjajah dan memiiki keturunan
yang secara tidak langsung menaikan derajat si perempuan tersebut. Jika ditarik
lebih ke belakang lagi, untuk Indonesia sendiri patokan cantik sudah sejak lama
sekali dibicarakan sebelum Belanda, Jepang, Inggris dan negara lain menjajah
Indonesia. Tokoh Shinta dalam kisah Ramayana digambarkan perempuan berwajah
cantik tanpa jerawat, berkulit mulus dan bercahaya, rambut hitam panjang serta
bertubuh langsing yang menjadi rebutan para pria, lewat kisah itu tokoh shinta
menjadi ikon dari definisi cantik yang telah menjadi doktrin jauh sebelum
adanya radio, iklan atau gambar berjalan dan sosial media. Meski begitu, cantik
bagi setiap orang tidaklah sama, sama halnya dengan negara lain, di Indonesia tiap-tiap
wilayah mempunyai standarnya sendiri dalam menilai cantik seorang perempuan,
jika di daerah Manado standar cantik yang biasa dipakai mayoritas orang Manado
yaitu putih, berwajah cantik dan berbadan bagus lain halnya dengan standar yang
ada di Maluku Utara lebih mengedepankan perilaku kesopanan serta warna kulit
tidak menjadi masalah, contoh seperti itu hanyalah sebagian besar dari
masyarakatnya selebihnya ada yang mempunyai standar sendiri yang tidak seperti
kebanyakan orang, karena ada juga orang Manado yang justru lebih menyukai
perempuan dengan badan berisi serta yang kulitnya kuning langsat begitupun
dengan orang Maluku Utara beberapa dari
mereka menyukai cewek berkulit putih. Jadi, dengan kata lain cantik itu
sebenarnya adalah hal yang relatif.
Berangkat dari standar saat ini yang
telah tertanam di kebanyakan orang banyak menimbulkan stigma yang berlebihan,
seperti ketika perempuan cantik yang berdandan terlalu terbuka sering dikaitkan
dengan perempuan pekerja malam seperti pelacur, kerja di tempat clubbing, tau
minum, tau merokok dan yang paling konyol adalah tidak perawan lagi, begitupun
dengan perempuan berkulit hitam, ada orang-orang yang menyamakan
perempuan-perempuan itu seperti hewan ajak-ajakan yang tidak terawat, tidak
wangi, tidak merawat diri, atau ketika orang berambut keriting sering menjadi
bahan ejekan seperti rambut kotor, kutuan,
tidak rapih. Bodohnya orang yang beranggapan seperti itu seringkali
membuat heran karena dengan dalih hanya bentuk sebuah candaan.
Ada satu dari sekian banyak cuitan yang sempat viral baru-baru ini di twitter, seorang perempuan yang menghina tubuh perempuan lain karena menurutnya perempuan itu memakai pakaian sport yang memperlihatkan bagian tubuh dan dianggap tidak cocok menurut matanya sebab membuat tidak enak dilihat dan malah menimbulkan polusi visual, berkat cuitan twitternya itu berhasil membuat penulis risih. Adalah hal normal ketika kita kurang menyukai sesuatu tapi beda cerita lagi ketika menghina tubuh seseorang di media sosial dengan 35,6 ribu pengikut. Saat ini banyak orang yang tidak cukup dewasa untuk menggunakan media sosial dengan baik, hak bebas berpendapat sering kali di salah artikan, orang berargumen tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi atau paling tidak sadar untuk menghargai sesama perempuan. Masalah lainnya mengenai standar yang ada di lingkup pekerjaan, penulis jadi teringat dengan film Imperfect (2019) dan Hidden Figures (2016) dimana seseorang yang sangat berkompeten tidak dapat melangkah lebih jauh dikarenakan warna kulit dan penampilan. Pada zaman Beauty 4.0 banyak perempuan-perempuan yang kapasitasnya lebih dari sekedar cantik saja, saat ini banyak yang masih berpatokan pada good looking yang lagi-lagi menjadi salah satu syarat dalam sebuah pekerjaan, sering menjadi hal yang paling nomor satu untuk dinilai, faktor inilah yang menyebabkan orang ingin tampil se-sempurna mungkin baik di media sosial maupun di lingkungan sosialnya sebab secara tidak langsung dituntut untuk menjadi yang terbaik versi orang lain.
Beauty 4.0 dan Keterkaitannya Dengan Revolusi Industri 4.0
Pada revolusi industri 4.0 masyarakat lebih langgeng dalam bermedia sosial, orang berlomba-lomba membuktikan diri bahwa mereka sesuai dengan standar yang ada di media sekarang. “Netizen maha benar” adalah hal yang bisa mereka setujui, karena dari penampilan seseorang dapat menjadi pujian, sindiran, dan hujatan. Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan yang tampilan audio visual atau tontonan-tontonannya telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner, 1996:164). Pada akhirnya inilah yang membuat tuntutan baru di dunia estetika, di mana masyarakat sosial media yang menentukan cantik ketika tampil di media sosial itu seperti apa serta hal apa saja yang sesuai untuk ditampilkan dalam postingan, selebihnya media dan iklanlah yang menunjang hal tersebut. Hak kebebasan untuk berpendapat dan peraturan UU ITE sering menjadi tumpang tindih atau malah berkebalikan, tak jarang yang menjadi korban kebencian yang dianggap bersalah. Di era seperti sekarang ini apapun bisa diakses dengan mudah begitupun dengan alat-alat kedokteran yang berkaitan dengan kecantikan menjadi semakin canggih, rata-rata orang yang aktif di media sosial mempunyai patron dan hal ini yang mempengaruhi bagaimana mereka untuk cantik seperti kebanyakan public figure.
Jika pada Beauty 3.0 tren kecantikan
belum membumi dan masih sedikit terpaku oleh standar cantik yang dahulu dengan
adanya mesin dan obat-obataan kimia yang mulai dikembangkan sehingga menunjang
hal tersebut. Beda hal lagi ketika bergeser pada beauty 4.0 dalam melakukan
perawatan ataupun operasi kecantikan dokter sudah tidak bisa lagi hanya
berpatokan pada golden ratio saja tetapi harus mempertimbangkan pendapat dari
pasien dan juga opini publik yang menjadi demikian penting. Tren kecantikan
yang semakin banyak dan membumi membuat anak-anak dari usia 12-an tahun hingga
50-an tahun menginginkan standar cantik tidak lagi dari cerita dongeng atau
cerita orang tua melainkan dari berbagai platform yang tanpa terfilter
kebohongan dan kebenarannya, yang mana berbahaya dan tidak berbahaya menjadi
tercampur dan terlihat sama yang dibarengi dengan maraknya hoax yang
bermunculan, banyak perempuan yang terjerumus akibat tidak tau membedakan hal
tersebut. Beberapa klinik kecantikan memanfaatkan hal ini dengan dalih sebagai
tren yang sedang terjadi saat ini.
Mahasiswa Dalam Melihat Standar Kecantikan Yang Ada
Mahasiswa menganggap standar yang ada pada orang lain adalah hal yang subjekif yaitu, bisa dilihat dari sifat maupun pembawaan sedangkan sebagian lagi mengatakan hal itu relatif terlebih karena memang dari dulu sudah ada pembicaraan tentang standar, setiap orang disuguhi dengan pilihan dimana kita tidak dapat menghindarinya.
Simpul
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dampak dari standar cantik yang dibuat oleh opini publik ini jelas menjadi hal yang serius karena mengakibatkan depresi, gangguan makan, menyakiti diri hingga tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri, ketika apa yang diinginkan pasien terjadi maka ada konsekuensi seperti tidak pernah puas dan akan melakukannya terus menerus dan pastinya itu dapat berakibat pada kerusakan anggota tubuh tertentu yang tanpa disadari sama artinya menyakiti diri kita sendiri, apapun yang berlebihan pasti tidak baik bagi diri dan tubuh sendiri, parahnya lagi banyaknya beban, tuntutan serta tekanan dari orang sekitar memunculkan pikiran dan perasaan untuk bunuh diri.
Persoalan menjadi cantik adalah
pilihan setiap perempuan, berpakaian, berdandan, mengubah bentuk tubuh maupun
bentuk wajah adalah pilihan, tapi alangkah baiknya ketika kita sebagai
perempuan melakukan hal itu atas kemauan diri sendiri, penting bagi kita
perempuan untuk bisa belajar membuat pilihan atas dasar kemauan dan kenyamanan
sendiri, setidaknya dari situlah kita bisa tau cara mencintai diri sendiri dan
menghargai tubuh orang lain, mempersilahkan orang mempunyai standar kecantikannnya
sendiri sehingga kita sebagai sesama perempuan bisa saling survive satu sama
lain, bersikap bodoh amat juga sepertinya perlu untuk meladeni orang-orang yang
toxic dari media sosial maupun lingkungan sekitar.
Catatan tambahan : Tulisan ini pertama kali dipublish sebagai salah satu syarat mengikuti Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Universitas Sam Ratulangi Cabang Manado pada tanggal 6-8 November 2020
Daftar Pustaka
Douglas Kellner 1996:164 Budaya Media-Cultural studies, identitas, dan politik: anatara modern dan postmodern
https://www.wartaekonomi.co.id/read226785/mengenal-revolusi-industri-dari-10-hingga-40
https://www.its.ac.id/news/2019/10/13/menentang-standar-cantik-perempuan/
0 Komentar