Melacak Motif dalam film Jejak Khilafah (Rangkuman Inti Pembahasan)

 Oleh : Bidang Kaderisasi

Pengantar Pembahasan

Sejak awal sebelum perilisan hingga peluncuran film ‘Jejak Khilafah’ pada 2 Agustus 2020 lalu yang disiarkan di kanal YouTube KhilafahChannel, film ini sudah mengundang berbagai respon dari berbagai pihak. Mulai dari pro, kontra, dan tidak ketinggalan juga ada yang menganggapnya sebagai humor yang receh.

Pihak yang pro menganggap film ini bak sebuah cahaya yang semoga bisa mengubah pandangan masyarakat Indonesia terhadap khilafah itu sendiri, sedangkan dari kubu kontra justru menganggap ini sebagai sebuah bentuk pengkaburan sejarah. Sementara kubu yang satunya bersikap lebih santai—meskipun lebih condong ke kontra—dengan hanya mengolok dan menertawakan film ini karena menganggap film ini sebagai angina lalu.

Film yang digarap oleh Nicko Pandawa selaku Director mengangkat tentang sejarah khilafah di Nusantara seperti hubungan antara Sriwijaya dengan Dinasti Umayyah, Samudera Pasai dengan Dinasti Abbasiah, hingga jejak Kekhalifaan Utsmaniyah dengan Sultan Baabullah di Ternate. Dengan segala keterkaitan inilah Indonesia bisa menyandang gelar sebagai jumlah umat Islam terbanyak di dunia.

Lalu apakah memang sebesar itu pengaruh khilafah terhadap pemualafan warga Nusantara? Yang bagi para pencetus film sebagai sebuah bentuk penerangan terhadap kegelapan yang ada di Nusantara.

Yang menarik dari film ini juga adalah keterkaitannya dengan tokoh-tokoh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) seperti Ismail Yusanto sebagai pengarah program dan juga promosi besar-besaran dari Felix Siauw. Kepentingan apakah yang ada di balik layar yang ingin film ini dan para pencetusnya ingin sampaikan?

Adapun isi tulisan ini adalah gabungan kesimpulan pada diskusi ‘Melacak Motif Dalam Film Jejak Khilafah’ (Rabu, 26 Agustus 2020) sebagai berikut:


1. Melacak Motif Khilafah di Indonesia

Sebelumnya yang perlu digaris bawahi adalah memang film ini mengangkat tema tentang penyebaran paham Islam di Nusantara, tetapi Nusantara yang dimaksud lebih condong ke Indonesia sedangkan wilayah seperti contoh Malaysia atau Brunei Darussalam hanya disentil sedikit sekali dan terkesan seperti cocoklogi—meskipun keseluruhan film memuat motif yang sama. Karenanya film yang dibuat berlandaskan sebuah skripsi yang didukung oleh tokoh-tokoh HTI ini lebih cocok disebut sebagai film ‘Jejak Khilafah di Indonesia’ juga segala keterkaitan yang diangkat di film ini juga lebih condong kepada Kekhalifaan Turki Utsmaniyah daripada kekhalifaan yang lainnya.

Karenanya patut untuk dipertanyakan lagi kepada pencetus film ini bahwa khilafah yang bagaimanakah  yang dimaksudkan memiliki pengaruh sebegitu besar terhadap pemualafan masyarakat kafir yang mereka sebut? Sedangkan dalam HR Imam Ahmad bahwa fase hidup manusia dibagi menjadi beberapa fase yaitu pertama masa kenabian, masa khilafah (yang dipimpin oleh empat sahabat, Khulafaha Rasyiddin), masa pemimpin zalim, dan masa pemimpin pembohong. Dengan dalil ini saja dapat dikatakan bahwa ketiga dinasti yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia bukanlah kekhilafah yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Juga dapat dipertanyakan pengaruh yang manakah yang ditaruh oleh Turki Utsmani terhadap Indonesia perihal KeIslaman? Menimbang dalam tata peribadatan, Indonesia menganut mazhab Syafii sedangkan Turki Utsmani menganut mazhab Hanafi.

 

2. Melacak Motif keterlibatan HTI dalam film Jejak Khilafah

Berbicara mengenai khilafah di Indonesia nampaknya tidak afdol jika tidak melibatkan HTI di dalamnya, yang secara hukum sudah dibubarkan sejak 19 Juli 2017. Nampaknya keterlibatannya dalam film ini condong kepada bentuk propaganda atau bentuk indoktrinasi secara tidak langsung kepada masyarakat awam untuk mendukung motif dari HTI itu sendiri yang tidak lain adalah berdirinya Negara Islam di Indonesia. Hizbut Tahrir yang secara etimologi berarti ‘partai pemebebasan’ entah mengapa tidak bertindak layaknya partai-partai lain yang demi mewujudkan tujuan dan kepentingannya harus masuk ke dalam pemilihan umum, mungkinkah karena pemilihan umum yang bagian dari demokrasi adalah produk kafir? Jika ia maka motif propaganda yang dimaksud dalam film ini bukanlah hanya sekedar meraih dukungan dari masyarakat tapi juga sebagai stimulus untuk melakukan People Power atau kudeta suatu saat nanti, jika ia nampkanya HTI sudah ketinggalan dari Lenin dan para Vanguard yang sudah lebih dahulu menerapkannya.

Meskipun demikian mungkin HTI dan tim pencetus film Jejak Khilafah harus lebih banyak belajar lagi terkait pembangunan plot film dan sinematografi. Tim penulis mengusulkan untuk menonton film ‘TILIK’ karya dari Ravacana Films




Reactions

Posting Komentar

0 Komentar