Pameran; #Analog

Sebuah karya yang memadukan seni fotografi dan puisi sebagai seni tertulis






ada sedikit suara yang terdengar

entah sapa yang menghasilkan suka atau duka

entah tarikan nafas para pekerja yang mengartikan jeda

atau sekedar ketukan tong sampah yang meminta dibersihkan

Isi bumi ini hanya sebagian.

ruang - ruang yang lain tak sanggup dilihat oleh kita, yang untuk mencapai puncak gunung tertinggi saja harus pura-pura menyukai senja.



"matamu tak akan telanjang selamanya."

banyak yang mengira kalau segala yang dihadirkan Tuhan memerlukan koreksi panjang. banyak yang juga lupa, kalau warna langit yang biru selalu saja normal sekalipun hanya berkawan dengan sekumpulan daun kering berguguran.




hutan sering menjadi jembatan bagi siapa-siapa yang ingin mencapai puncak, melesat demi bertemu pemilik dasar samudera. beberapa darinya tersesat, beberapa yang lain memilih diam tak melangkah. 

sampai suara burung dan kekikikan dahan membuat yang melewatinya sadar kalau tersesat jauh lebih baik dibandingkan diam tak tentu arah.



duri dan kelopak sering mendekap ke arah timur,

tempatku menabung jalar.

kalau ribuan cacing menggerogoti tiap lapisan tanah untuk tidak mati, aku tak menggerogoti apapun agar tetap hidup.


kalau duri dan kelopak meminta pulang, kulepaskan.

mau bagaimana lagi, 

hidup memang pilihan tapi mati dan tak berguna juga ketentuan.



genggaman mengartikan ikhlas dan kemanusiaan yang sejajar.

tentang Najril yang memilih memberi sepasang sayapnya dan menjadi yang sendiri untuk bahagia Aum yang menjadikan cinta, kemanusiaan dan kehidupan-nya abadi.



Kertas, Putih, Jemari dan Kelopak. 

dari empat serpih itu, aku memilih untuk tidak memilih. karena satu-satunya cara agar tidak berujung sapa dengan nestapa adalah tidak memilih satu apa.



diantara kekosongan yang tidak dengan permisi--keabadian menyiratkan pesan. lewat tarikan nafas yang mengartikan jeda dan penantian yang meminta untuk tegak.

"tak perlu buru-buru, waktu tak pernah lupa untuk berbagi bantuan dan teman."



abad ini membawa banyak insan pada genggaman yang jauh lebih fana. kala rehat ditepi ramai dijadikan alasan adanya empati dari mata-mata penumpuk jalanan.

menepilah dari lantai ketelanjangan. tangan yang menopang itu tak hanya menahan tumpuhan kepala, tapi juga dosa para mata yang beriya saat iba.



sekali kau melangkah dengan ingin di sebelah kanan dan yang tersedia hanya di sebelah kiri, ke-kiri-lah.

sekali kau ingin berlari dan kaki tak lagi ada tenaga, berhenti-lah.

sekali kau ingin berteriak dan tak ada suara yang tersisa, diam-lah.

sekali kau mencinta dan tak ada kesempatan untuk tenggelam bersama, sendiri-lah.

sekali kau meminta dan tak ada yang memberi, maka beri-lah dengan sendiri-nya.

 

Surat Yubj untuk sang Anak.



jiwa dan puan-ku hidup di-cangkang yang terasa dingin akan norma dan nilai, dimana isi bumi diperbanyak oleh orang-orang yang sibuk menjadi buta dan membutakan.

'satu hari dari kemarin, menjadi hari-hari yang terus seperti kemarin. burung bernyanyi, alam mewadahi dan manusia menunggu mati.'


📷 Harry Susanto

📓 Saisa Assagaf

📍 Manado, Sulawesi Utara, Indonesia.



Reactions

Posting Komentar

0 Komentar