CHAPTER #1 : Negara dalam Keadaan GEGAP GEMPITA

Sesuai data terkini Covid-19 di Indonesia telah mencapai 6.248 kasus, 535 orang terkonfirmasi meninggal dunia, 631 pasien sembuh, sedangkan 5.082 jiwa dalam perawatan medis. Pada data ini, kita bisa mengakumulasi bahwa, lonjakan Kurva yang terpapar Corona Virus Disease-19 kian mewabah di beberapa Ibu Kota. Hal ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh oleh Pemerintah dan juga lapisan masyarakat, apabila Negara & Masyarakat menginginkan sebuah perubahan yang radikal. Upaya dari Pemerintah sampai detik ini, kocar kacir guna membasmi Covid-19, jika hanya mengandalkan kampanye kesehatan, tanpa ada material yang seharusnya ditanam pada Masyarakat. Walaupun Pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi terkait penanganan pandemik ini, semua akan sia-sia jika tidak ada pembinaan serta edukasi nyata kepada masyarakat, niscaya regulasi ini hanya serupa kampanye Parpol dengan omong kosong politik yang tidak boleh diyakini begitu saja. Sebab Pemerintah tidak memandang dengan penuh konsentrasi mata rantai penyebaran Covid-19 yg kian meningkat. Seharusnya di masa seperti ini, Pemerintah bisa menunjukkan sifat Pemimpin yang sebenarnya, sehingga rakyat seutuhnya akan mempercayakan kembali kepada Pemimpin yang telah dipilih. 

Akibat dari tidak adanya keseriusan menanggulangi Covid-19, kita bisa melihat resesi ekonomi, krisis bahan pangan beberapa daerah, dan menurunnya pemasukan UMKM-UMKM Kecil, Buruh dan Pekerja Harian. Bahkan perlengkapan perang para Tenaga Medis dibeberapa wilayah, masih ada saja yang belum memenuhi proporsi standar dalam penanganan pasien suspect Covid-19. 

Di Indonesia, tentu saja tidak bisa semborono menggunakan istilah Lockdown, karena memang pada dasarnya tidak pernah dibahas rancangannya dalam UU yang terkait. Indonesia sendiri memakai terminologi Kekarantinaaan Kesehatan (UU Nomor 6 Tahun 2018), sebagai metode menjawab persoalan pandemik Covid-19. Metode ini, banyak mengandung perhatian pada Keluar-Masuk lintas Negara maupun Provinsi, baik barang atau orang, membahas Zona Karantina dan juga langkah-langkah pencegahan, agar tidak tertular penyakit, sesuai dengan situasi kondisi yang ada.
Hanya saja, apakah metode Karantina Kesehatan ini akan baik apabila dioperasikan? Apakah metode ini hanya dikhususkan untuk Masyarakat, tapi tidak dengan Pejabat? Apakah Pemerintah mampu memenuhi segala Kebutuhan Masyarakat? Bagaimana dengan sanksi? 
Sedangkan, masalah baru yang pasti timbul akibat Karantina Kesehatan ini ialah, ketidakstabilan Ekonomi dan ketidakseimbangan kesejahteraan Masyarakat. Apalagi berbicara tentang Masyarakat kelas menengah kebawah, sejatinya tidak ada orang yg merasakan kedaulatan bila diberlakukan Karantina Kesehatan. Barangkali ada seorang Kepala Keluarga yang tidak sanggup memberi makan untuk anak dan istri. Bahkan dalam fakta pengalaman Pribadi, Penulis mendapati warung makan harga eceran ditutup paksa dengan iming - iming guna memutuskan mata rantai virus Corona. Para pedagang Kaki Lima ataupun Restoran yang masih berjualan di atas Jam Malam, diciduk dan dibawa ke kantor Polisi setempat untuk disesuaikan sanksi Pidana yang termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Barangkali, ada seorang kepala keluarga yang selepas dari Rutinitas Pekerjaan, harus pulang larut malam dan harus menafkahi kebutuhan pangan untuk sang anak & istri. Tindakan otoriter seperti ini, sejatinya tidak akan mensejahterakan masyarakat, dan tentu saja beragam implikasi negatif pastinya terpampang pada Wajah Aparat & Pemerintah. Pemerintah mempunyai kewajiban jua untuk memberikan edukasi sekaligus metodologi yang benar menjalankan Karantina Kesehatan kepada para Aparat. Tentu saja bukan dengan metode Fasisme yang pernah diajarkan Bapak Pendahulu, barangkali tidak ada rakyat yang simpati akan hal itu. Mengingat Indonesia adalah Negara Demokrasi berasaskan Pancasila, seharusnya ada tindak Pembinaan dan Pengayoman kepada masyarakat yg belum menaati secara maksimal metode Karantina Kesehatan ini, bukan dengan tindakan penyelewengan, kekerasan ataupun dikenai sanksi pidana. Ini adalah akibat tidak adanya turun tangan langsung dari Pemerintah untuk mengindahkan kaidah-kaidah Karantina Kesehatan ini. Tidak boleh tidak jikalau pemerintah hanya sekedar mengingatkan dan mengkampanyekan Karantina Kesehatan ini tanpa adanya turun tangan langsung, dan properti yg wajib diberikan kepada Masyarakat. Masyarakat juga tidak bodoh, jikalau hanya sekedar membaca dan mengantisipasi agar tidak terpapar Covid-19, barangkali Masyarakat lebih bijak menanggapi hal itu daripada para Politisi.
Bagaimana dengan kabar gembira Pemerintah yg katanya akan menyebarkan subsidi kepada rakyat kurang mampu, termasuk UMKM Kecil, Buruh, Pekerja Harian dan lapisan Masyarakat tanpa memandang adanya tindak diskriminatif.
Penulis mengemukakan pertanyaan ini, karena berangkat dari tanggapan Jubir Pemerintah kasus penanganan Virus Corona yang sempat menuai kontroversi dan sepatutnya untuk di kritisi, Achmad Yurianto. 
Sungguh sederhana apa yg diungkapkan beliau yang mengundang kontroversi diskriminasi Sosial. Bahasa provokatif seperti ini, tidak sepantasnya dilayangkan apabila Negara saat ini dalam keadaan tanggap Darurat membasmi Covid-19. Apalagi suara yang terdengar oleh rakyat adalah tindak tegas diskriminatif.
Adapun Social Distancing yang belum sepenuhnya berhasil diprogramkan Pemerintah, faktanya masih ada saja Pertokoan/Fasilitas Umum yang marak dibuka di beberapa daerah yang belum terkoordinasi dengan baik. Sejatinya masyarakat masih ada saja yang melanggar hakikat dari Social Distancing, padahal kita mengetahui bersama Social Distancing adalah pemeliharaan yang tepat untuk kesehatan. Pemerintah harus berpartisipasi, turun tangan langsung kepada masyarakat untuk imbauan dan edukasi nyata, bukan malahan mencuci tangan di bawah payung kedaulatan Ekonomi.
Bagi sebagian kecil wilayah yang belum terpapar Covid-19, ataupun yang terkonfirmasi Zona Wilayah Karantina, sekaligus masyarakat awam yang merasa baik baik saja di suatu daerah, bukan berarti daerah itu dalam keadaan tidak terjangkit Covid-19. Bisa dikatakan, daerah itu belum diketahui terpapar COVID-19 dikarenakan belum memumpuni bidang teknologi & laboratorium, atau tidak adanya survey nyata yang berlangsung dalam kerumunan daerah terkait (Dr. Tirta Mandira Hudhi).
Berbicara mengenai persoalan pandemik yang tengah berlangsung di Bumi Pertiwi, sepatutnya tidak terlepas dari penumpang penumpang gelap, para Pejabat yang melakukan manuver politik kian ganas dengan memanfaatkan keadaan genting saat ini. Seharusnya, pemerintah lebih menegaskan untuk menyelesaikan 1 masalah prioritas kesehatan terlebih dahulu, daripada RUU yang diluar prioritas Kesehatan, ataupun bahkan narasi tersebut masih dalam tahap Membahas Kembali. Pemerintah & Pejabat saat ini Proaktif menyegerakan agar beberapa RUU seperti RUU CIPTAKER, RUU KUHP dll segera disahkan, karena situasi dan kondisi Negara sangat memungkinkan tidak terjadi seruan Aksi di kalangan Mahasiswa & Buruh. 
Seluruh elemen masyarakat tanpa memandang diskriminasi antar kelas, kecuali Pejabat & Pemerintah, diwajibkan #DiRumahAja sebagai langkah turut aktif membantu program pemerintah dalam menangani Covid-19 yang tersebar di penjuru negeri, sekaligus memutus mata rantai penyebaran penyakit ini.
Seharusnya, jika Pemerintah bertekad memutus mata rantai penyakit ini, bukan hanya sekedar kampanye yang tidak bisa tidak ada perubahan dalam struktur Masyarakat. Pemerintah tentu saja mempunyai otoritas untuk menutup secara menyeluruh sarana prasarana dengan menggunakan metode UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Baik taman rekreasi, Fasilitas Umum, Sekolah/Perguruan Tinggi, tempat-tempat Ibadah, maupun Kantor Swasta jika keadaan sangat Impossible to Move. 

Tapi kita bisa memantau bahwa, fokus pandangan Pemerintah saat ini, hanya mengedepankan Bisnis dan Politik yang tepat dijalankan pada momen krusial ditengah bencana pandemik ini. Kembali lagi, ibarat kata terkait UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pemerintah hanya mengiyakan Regulasi Kencan Buta. Tentu saja Masyarakat masih tetap memantau keadaan situasi kondisi saat ini, disamping Pemerintah mendistribusikan sembako untuk elemen masyarakat. Pemerintah jua menekankan KKN dalam RUU CIPTAKER, RUU KUHP dll. Izinkan saya meminjam bahasa Marx, Pemerintah seharusnya mengetahui bukan itu yang diinginkan kaum Proletar saat ini, tidak boleh tidak membantah kepada Pemerintah dalam keadaan Krusial saat ini, sama dengan mengkhianati NKRI. Apalagi belakangan ini, diwacanakan Narapidana tindak Pidana Korupsi akan dibebaskan sebagai upaya Physical Distancing yg sempat diwacanakan Menkumham, Yasonna H. Laoly, yang menuai kontroversi ditengah kemelut kepanikan masyarakat karena Covid-19. Tanggapan itu segera dibantah oleh Menkopolhukam, Mahfud MD (Terkait pembebasan bersyarat Narapidana, hanya pembebasan bersyarat bagi Narapidana Tindak Pidana Umum. Melainkan bukan Korupsi, Terorisme atau Bandar Narkoba. Wacana itu muncul sebab ada dorongan aspirasi dari masyarakat untuk pencegahan Physical Distancing di Lapas Sukamiskin). 
Dari pembahasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Negara saat ini tidak Proaktif membantu kepada Masyarakat yang kurang mampu, Negara saat ini masih tetap saja berkhianat kepada rakyat, dan masih ada Garis Lingkaran Setan yg mendorong manuver aspirasi KKN di antara para Penguasa.

Ditengah Covid-19, kita dihadapkan pada minimnya opsi. Totalitarianisme atau tidak sama sekali? Kalau tidak sama sekali, maka Teori Darwin adalah kesimpulannya, "Yang kuat yang akan bertahan, sedangkan yang lemah akan Punah" - Survival of the Fittest.


Reactions

Posting Komentar

0 Komentar